Penafsiran dari pergerakan akulturasi budaya dan peremajaan yang sepadan antara pelaku dan konsumen budaya, dihadirkan dalam pergelaran dengan tajuk Mel Ahyar Annual Show 2023 : KULTULIBRASI.


Pertunjukan dengan 75 koleksi gaya busana yang berlokasi di City Hall, PIM 3, menawarkan cara untuk menjadi pijakan keseimbangan dan keharmonisan atas negosiasi dari konflik-konflik lintas generasi. Kultulibrasi adalah tentang menemukan sweet spot, yakni keseimbangan dari keberlanjutan budaya agar tetap lestari.




Ketiga hal penting dari pergelaran ini, yakni demi regenerasi, relevansi, dan legacy. Untuk menjawab permasalahan yang diangkat, Happa dan XY mempersembahkan RIKURIKU, dilanjutkan dengan persembahan koleksi Mel Ahyar ARCHIPELAGO, dan ditutup oleh Mel Ahyar Fall/Winter 2023-2024.


Happa dan XY merupakan merek yang juga dikelola oleh MMAC sebagai pembuka pagelaran. Brand ready to wear ini menampilkan koleksi RIKURIKU yang terinspirasi dari ukiran Suku Asmat. RIKURIKU ditampilkan dengan passion maskulinitas pria Asmat yang memahat kayu untuk meninggalkan jejak di bumi sebagai sebuah warisan dan bentuk penghormatan kepada leluhur.




Ukiran yang memperlihatkan motif kerangka garis-garis corak bunga yang rimbun maupun hewan. Palet warna earthy diambil dari lukisan wajah khas Asmat yang menggunakan pewarna alami, seperti merah tanah, putih bubuk cangkang kerang, dan hitam arang tumbuk.


Penampilan utama dari acara ini adalah persembahan dari koleksi Mel Ahyar ARCHIPELAGO dengan membawa wastra Nusantara: Batik Gedog Tuban ‘Onomatope’, Tapis Lampung ‘Mulang Tiuh’, dan Medanas The Melting Pot. Ketiga hal tersebut menghadirkan sudut pandang regenerasi budaya secara berbeda.




Gedog Tuban merupakan salah satu jenis batik tulis yang terancam pelestariannya, sehingga Mel hampir secara utuh menyuguhkannya sebagai bahan baku utama. Sedangkan, Tapis Lampung menggunakan craftsmanship sulam khusus Lampung di atas kain dengan motif modern. Lanjutnya, Medan dengan berbagai suku dan etnis disebut sebagai melting pot menampilkan berbagai wastra khas Sumatera Utara seperti Songket Melayu, Ulos Batak, dan lain-lain.


Penutup dari rangkaian koleksi busana dengan Mel Ahyar Fall/Winter 2023-2024 menampilkan ketajaman Mel Ahyar dalam mempresentasikan fenomena dinamika dimensi horizontal dan dimensi vertikal. Dimana dimensi horizontal adalah konflik antara aspek teknologi, geografi hingga sosio-ekonomi dan dimensi vertikal yaitu konflik lintas generasi, seperti baby boomers berada di tingkatan teratas budaya, generasi X yang sangat kompromi dengan budaya, generasi Y  sebgagai generasi sandwich, dan generasi Z yang lekat dengan teknologi. 




Dalam koleksi ini dipengaruhi mode 1940 sampai 2000 an dengan kebaya bervolume tegas, geometris, dan asimetris. Dari elemen detail memperlihatkan beberapa dekade di tiap bagiannya, seperti bunga 3D dari mika, sulaman tangan, sulam usus, tapis, serta efek dari bunga yang diawetkan.






Mel Ahyar mengatakan bahwa tak ada generasi muda yang dari lahir sudah serta-merta langsung berbudaya. Kolaborasi menggunakan wastra tak hanya untuk meregenerasi pengrajinnya, tapi juga meregenerasi customers dari brand Mel Ahyar. Melalui show ini dengan tujuan untuk mengembangkan wastra Nusantara sebagai sumber daya kreativitas terbarukan agar dapat dikenakan seluruh generasi.




CEO MMAC, Arie Panca menyampaikan Budaya yang punah menurut kami adalah budaya yang gagal beregenerasi. Dibutuhkan kepekaan dalam mengenal wastra, mengola, dan memodifikasinya secara respectful as a piece of art terhadap wastra agar terciptanya momentum taste dan market masa kini.




Kesuksesan KULTULIBRASI membuat Mel termotivasi untuk menggali wastra Nusantara lebih mendalam dan keinginannya untuk membuat sekolah wastra. “Visi saya menjadikan wastra Nusantara sebagai creative resource yang saya yakini bisa selalu terbarukan tak ada habisnya melalui kolaborasi langsung dengan para pengrajin, maupun asosiasi untuk pengembangan wastra serta pembinaan pengrajin,” tutup Mel.


Sumber foto: Mel Ahyar Annual Show 2023
Penulis: Rafi Fadillah